Bukan Aku yang Berbeda




 Sedih dan menangis. Hanya hal itulah yang bisa kulakukan saat ini. Bukan karena tidak diberi uang jajan oleh orangtua atau diputuskan hubungannya oleh pacar, melainkan perlakuan yang kuterima dari teman-temanku di sekolah. Mereka  seakan tak bisa menerima kekurangan yang kumiliki. Memang bukan kali ini saja aku mendengar atau merasakan pengasingan mereka terhadap diriku. Ya, aku adalah orang yang tidak sempurna, sama seperti kebanyakan orang lainnya. Tapi ketidaksempurnaanku yang satu ini, membuat aku serasa menjadi orang yang berbeda dan seakan jauh dimata orang lain.
Kekuranganku itu adalah aku tidak dianugerahi suara sejak kecil seperti pada kebanyakan orang. Sebenarnya, aku terlahir dengan fisik yang sempurna layaknya bayi normal. Ketika pertama kali aku melihat dunia, aku menagis seperti bayi lainnya pertanda bahwa kebisuanku ini tidak timbul semasa aku dalam kandungan. Namun, aku kehilangan suaraku sejak aku berusia 3 bulan. Semua itu berawal saat umurku masih satu bulan. Aku disambut pada kedatangan perdanaku di rumah. Saat itu aku memang belum mengerti, tapi aku sudah bisa merasakan betapa ditunggunya kehadiranku di muka bumi ini. Aku mengikuti ritual apa saja yang dibuat orang tuaku, hingga petakapun tiba. Karena kecerobohan ibu yang menggendongku, aku terjatuh dan terbanting ke lantai serta leherku yang tersayat gunting ketika aku akan menjalankan ritual gunting rambut.
 Aku langsung dilarikan ke rumah sakit dan segera mendapatkan perawatan. Ada beberapa jahitan di leherku yang sampai sekarang, luka  itu masih membekas. Tidak ada luka yang serius pada anggota tubuhku yang lainnya. Dokter mengatakan bahwa aku tidak membutuhkan perawatan yang terlalu serius. Tapi itu tidak berarti aku tebebas dari perasaan trauma. Dampaknya adalah sampai saat ini aku takut akan ketinggian dan benda tajam. 
Setelah dua bulan pascaoperasi penjahitan leherku, aku mengalami infeksi pada luka bekas jahitan yang berdampak fatal pada pita suaraku. Itu memaksa dokter untuk mengangkat pita suaraku agar infeksinya tidak bertambah buruk. Sejak saat itulah aku harus melepaskan suaraku.

Sudah berkali-kali telingaku ini mengkonsumsi komentar negative dari semua orang, tak terkecuali teman-teman sekolahku. Itu sebabnya dari ratusan orang yang menuntut ilmu di sekolahku, hanya beberapa yang mau berteman denganku. Mungkin kebanyakan orang yang tidak mau berteman denganku itu malu karena mempunyai teman sepertiku. Keluargaku juga turut menyumbangkan tekanan. Mungkin orangtuaku masih bisa menerima keadaanku. Tapi tak begitu dengan adik perempuanku. Dia hampir tidak pernah mengajakku bicara. Ya, mungkin ia malas berbicara dengan orang bisu sepertiku. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Apakah aku harus marah pada Tuhan? Tapi aku merasa sedikit bersyukur karena aku lebih beruntung dari orang yang tidak memiliki kaki, tangan, atau organ tubuh yang lain sejak lahirnya.

Hari berikutnya……
Jam tanganku menunjukkan pukul 06:30. Sebentar lagi bel sekolahku akan berbunyi menandakan waktu di luar lingkungan sekolah telah habis, dan sekarang giliran waktu menuntut ilmu. Aku masih dalam perjalanan menuju sekolah dengan jantung yang sudah mulai berdebar, menunggu detik-detik ayahku akan melepaskanku dalam lingkungan sekolah dan menghadapi omongan orang tentangku, sendiri. Jujur saja aku sedikit takut.
Pukul 06:40, aku sampai di depan gerbang sekolahku. Aku seakan tak ingin keluar dari mobil ayahku. Aku menatap wajah ayah dalam-dalam berharap agar beliau membiarkanku untuk tidak sekolah hari ini. Karena merasa aneh, ayah menoleh ke arahku dan bertanya, “Kenapa? Ada yang salah ya?” , ku palingkan wajahku dari tatapan ayah. Kujawab pertanyaan ayah dengan gelengan. Karena bel sekolah sudah berbunyi, ayah menyuruhku untuk bergegas masuk ke sekolah. Aku langsung berpamitan dengan ayah dan langsung pergi meninggalkan ayah yang senantiasa menungguku hingga aku benar-benar masuk ke sekolah.

Aku hampir sampai di kelasku. Aku mendengar suara gaduh sebelum aku masuk kelas. Hal itu sudah biasa terjadi, jadi aku sudah biasa mendengar suara gaduh temanku yang membicarakan hal yang sebenarnya tidak penting. Aku sudah berada di depan ruang kelasku dan aku mendengar suara Naufal, teman sekelasku yang paling sering mengejekku, “Eh, diem-diem! Nina gagu udah dateng nih.” Serta-merta seisi kelaspun tertawa dengan riangnya tanpa memikirkan perasaanku. Tapi tak begitu dengan Dilla, teman sebangkuku. Mungkin hanya dia yang setia menjadi temanku di kelas ini. Aku berlalu menuju tempat dudukku tanpa memikirkan omongan teman-teman kelasku.
Waktu istirahat tiba, karena suntuk di kelas, aku memutuskan untuk pergi ke perpustakaan untuk sejenak menenangkan diri dengan membaca buku-buku inspiratif.  Tiba-tiba kumendengar suara yang bersahabat dari seseorang. “Suka baca buku itu juga?”, tanpa berfikir, ku menoleh pada sumber suara orang yang sepertinya bicara padaku. Ternyata itu  Yudha, ketua OSIS di sekolahku. Aku hanya mengangguk. “Kamu Nina, kelas XI BHS 1 itu kan?”. Lagi-lagi, aku hanya bisa menjawab pertanyaannya dengan anggukan. Aku mulai berfikir kalau dia akan mengatakan hal yang sama seperti teman-teman kelasku. Jadi kuputuskan untuk menutup buku yang sedang ku baca dan mulai beranjak pergi. Tapi, Yudha seakan mencegahku untuk pergi. “Kenapa buru-buru? Istirahat kan masih lama.”, dia melanjutkan perkataannya “Aku tahu alasan kamu pergi. Pasti kamu fikir aku bakal ngejek kamu seperti apa yang dilakukan teman-temanmu kan?” Aku menunjukkan wajah bingungku. “Aku tahu perlakuan teman-teman sekelasmu pada kamu selama ini. Pasti itu yang udah bikin kamu lebih suka nyendiri di lingkungan sekolah ini.”, “Bagaimana kamu bisa tahu?” batinku dalam hati. Dia kembali bicara “Sebenernya aku udah sering merhatiin kamu, dan setelah aku cari tahu kenyataannya seperti itu , aku cuma pengen berteman baik sama kamu.”


Aku tidak tersinggung dengan fakta yang baru saja ia sampaikan. Karena, aku bisa merasakan kalau dia memang ingin menjadi temanku. Tanpa berpikir panjang, ku menerima permintaan pertemanannya dengan senyum riang yang mengembang di bibirku. Dia sepertinya sudah mengerti dengan maksudku dengan turut menyumbangkan senyuman yang tak kalah riangnya. “Oke, kalau gitu mulai sekarang kita jadi temen ya!”, sambil mengulurkan tangannya. Ku anggukkan kepalaku tanda setuju dengan pernyataannya. Bel berbunyi. Saatnya aku kembali ke kelas. “Balik ke kelas, yuk!”, ajak Yudha padaku. Ku menjawabnya dengan anggukan. Lalu kami keluar perpustakaan bersama. Dan saatnya aku kembali ke kelas telah tiba.
Tapi belum sempat kumelangkah ke koridor menuju kelasku, tiba-tiba terdengar suara yang sangat aku kenal memanggil namaku, “Nina!”, ya, itu adalah Dilla, teman yang selalu setia melindungiku dari cercaan teman-temanku yang lain. Kumenoleh ke arahnya dengan tersenyum. Tapi kumerasa ada sesuatu yang aneh dengan diriku. Semua terlihat semakin gelap setiap kali mataku berkedip. Tapi aku masih bisa melihat Dilla yang bergegas mengahampiriku dan mengulurkan tangannya padaku. Dan saat itu aku sudah tidak sanggup berdiri lagi.
Suasananya hening sekali. Hanya ada suara beberapa orang yang bisa kudengar. Itupun aku tak mengerti apa yang sedang mereka bicarakan. Perlahan kubuka kelopak mataku. Kulihat beberapa orang yang walaupun samar-samar masih bisa sedikit kukenali. Tak salah lagi, orang itu adalah Dilla. Dan sepertinya orang yang sedang berbicara padanya adalah Yudha, teman baruku. Kucoba bangkit dari tempatku berbaring, tapi tiba-tiba kedua orang itu menoleh ke arahku, “Kamu mau kemana? Udahlah, kamu kan masih sakit,  jadi kamu tidur di sini aja!”, cegah Yudha sambil mendekatiku. Aku hanya menjawab semua pernyataannya dengan gelengan. Dengan cepat kukuatkan tenagaku tuk berdiri. Entah kenapa, aku merasakan firasat yang sangat kuat. Dan benar saja, tak lama setelah aku merenungkan kegundahan hatiku, tiba-tiba ada kehadiran orang yang sangat kukenal. Ayah! Kurasa ini belum saatnya pulang sekolah. Tapi kenapa ayah ada di sini? Pada saat yang seperti ini? Sepertinya ayah ingin mengajakku ke suatu tempat.
Di jalan menuju sebuah tempat....
Kami melintasi jalur demi jalur tujuan yang entah kemana aku tak tahu. Akupun juga tak berani untuk menanyakannya pada ayah. Melihat wajah beliau saja, aku sudah bisa mengerti kegelisahan yang sedang ayah rasakan. Kucoba turuti saja apa yang beliau perintahkan. Bahkan untuk meninggalkan sekolahku seperti tadi.
Kurasa kami hampir sampai di tujuan. Kami memasuki kawasan yang yang sangat tak asing bagiku. Rumah sakit yang berkali-kali aku datangi dari mulai aku kecil, sampai sekarang jika aku sakit dan harus memerlukan perawatan. “Tapi untuk apa ayah membawaku kemari? Siapa yang sakit?”, batinku dalam hati. “Sekarang kita sudah sampai, ayo turun!”, aku bingung. Aku benar-benar tak mengerti apa arti semua ini. Kuturuti saja perintah ayah untuk cepat turun.

Aku mengikuti ayah dari belakang sambil terus menundukkan kepala. Dan telah sampailah kami di depan suatu ruangan perawatan khusus. Dibukanya pintu ruangan ini secara perlahan, dan sedikit demi sedikit kumulai tahu siapa orang yang sedang menjalani perawatan itu. “Irna? Apakah itu benar Irna adikku? Kenapa dia ada di sini dengan jarum infus dan semua alat-alat medis yang jarang dipakai untuk penderita penyakit biasa?”, semua pertanyaan itu meluncur mulus dalam hatiku setelah aku melihatnya terbaring di atas sana dan tak berdaya, walaupun hanya untuk membuka matanya sekarang.
“Ini adalah kenyataannya”, ayah memulai pembicaraan. Kutunjukkan wajah bingung dan khawatirku, “Kenyataan apa?”, batinku dalam hati. “Irna, sudah satu bulan ini dirawat di sini. Dokter bilang ada kanker yang berkembang di paru-parunya. Itu sebabnya ayah menyuruhmu untuk tinggal bersama nenek samentara dengan alasan untuk menemani nenekmu yang sendiri. Agar kamu tidak mengetahui hal ini. Ayah, ibu, bahkan Irna tidak ingin kamu sedih memikirkan semua ini. Tapi pada akhirnya ayah sudah tidak sanggup merahasiakannya padamu. Apalagi setelah ayah mendapat telepon dari sekolahmu bahwa kamu pingsan. Itu semakin membuat ayah gelisah, karena pada saat yang sama Irna juga sedang drop.”, aku merenungkan semua yang ayah katakan. Ayah melanjutkan bicaranya, “Dan beberapa hari yang lalu ayah menemukan buku diary kamu yang masih tertinggal di rumah. Ayah memberikannya pada Irna. Dia membaca semua ungkapan hati kamu di situ. Dia merasa bersalah pada kamu karena selama ini dia tidak pernah memperhatikanmu bahkan bersikap acuh sama kamu. Dan karena merasa tidak sanggup lagi menderita sakitnya, dia membuat keputusan besar. Irna ingin memberikan pita suaranya padamu.”, aku terperanjat dengan keputusan Irna yang disampaikan pada ayah. Aku tidak bisa. “Tapi kata dokter, sangat mustahil pita suara orang lain bisa berfungsi setelah didonorkan pada orang lain. Ayah sudah bicara pada Irna, tapi dia tetap memaksa untuk memberikan pita suaranya padamu. Dokterpun tak kuasa untuk mencegahnya. Jadi, ayah mohon kamu mau menerimanya. Permintaan terakhir dari Irna, adik yang sangat kamu sayangi.”, ayah menegakkan wajahku yang sedari tadi menunduk. Maka dengan berat hati kuanggukkan kepalaku. Ayah membalasnya dengan senyuman dan memelukku. Air mataku tak bisa dibendung  lagi. Aku menangis sejadi-jadinya.
Beberapa hari kemudian….
Aku terus berdoa tuk lancarnya operasi hari ini. Beberapa jam berlalu dan kini aku tak lagi berada di ruang operasi. Sebenarnya aku sudah tidak sabar tuk mendengar suara baruku. Tapi, aku baru ingat bahwa donor pita suara ini tidakakan berfungsi seperti yang dikatakan dokter. Pita suara ini didonorkan hanya untuk menyenangkan hati adikku, Irna yang menurut keterangan dokter umurnya sudah tak lama lagi. Ya, tak apalah. Asalkan aku bisa sedikit menyenangkan hatinya sebelum dia dipanggil.
Setelah beberapa hari pasca operasi, duka menghampiri keluarga kami. Irna akhirnya dipanggil oleh Sang Kuasa. Ada sedikit rasa bersalahku padanya. Aku merasa sebagai orang  jahat karena seolah-olah aku mengambil suatu yang berharga darinya saat dia tengah tak berdaya. Tapi ayah menyadarkanku untuk tidak larut dalam perasaan bersalahku. Lagipula, aku masih tetap saja seperti dulu. Tidak bisa bicara. Ya, operasi itu memang sebenarnya tidak ada gunanya. Dan aku sekarang sadar betapa berharganya keluargaku dibandingkan dengan suaraku karena ini memang sudah jalan Tuhan. Dan aku selalu berdoa untuk kesadaran hati teman-temanku, agar mereka bisa menerima aku sama seperti mereka. Karena pada hakekatnya bukanlah aku yang berbeda. Melainkan mereka yang menganggap orang seperti aku berbedalah, yang seharusnya tahu apa itu arti perbedaan dan bagaimana cara menyikapi perbedaan itu.




                                             SELESAI



Karya: Imamatul Qudsiyyah


Komentar

Postingan Populer